Rabu, 27 November 2013

Kota Cinta, Kota Kenangan

Begitu banyak yang ingin kuceritakan. Kenangan yang tak mungkin kupendam dan kusimpan sendiri, tentang kota bernama Solo. Untuk itu aku harus kuat agar satu per satu kenangan dapat kukupas secara perlahan dan teratur. Tak dapat didustai bahwa senyawa yang bernama kenangan tersusun dari atom kebahagian dan kesedihan. Perkawinan antara serpihan luka dan tawa. Hal itu yang pernah diberikan oleh Solo kepadaku. Sesungguhnya Solo adalah kota cinta, sekaligus kota kenangan.

Solo bukan kota kelahiranku, tetapi dia telah menimangku dengan manja dan kadangkala menghujaniku dengan masalah agar aku tumbuh menjadi seorang gadis dewasa dan tidak cengeng. Takdir membawaku untuk duduk di sebuah bangku sekolah menengah atas di kota ini. Saat itu semua teman-teman dan bahkan aku sendiri masih dalam kondisi labil dan mudah sekali tersengat tawon bernama chemistry. Beberapa teman mengakui bahwa alasan menyukai seseorang karena ia merasa ada chemistry. Tak ada alasan lain yang mampu mereka utarakan, meskipun aku yakin pasti ada. Barangkali mereka tidak bermaksud untuk berdusta, tetapi memang ada rasa lain yang harus dijaga.

Sama halnya dengan mereka yang mencintai kekasihnya, aku mencintai Solo apa adanya. Semacam ada chemistry. Pertama kali menginjakkan kaki di Solo, langsung jatuh cinta. Karena cinta, aku lebih mudah mengingat setiap jalan, sudut, dan tikungan yang ada di Solo. Karena cinta, aku menerima Solo dengan segala atmosfernya. Karena cinta, aku lebih menyukai makanan khas Solo daripada makanan khas kota lain. Karena cinta, aku nyaman berlama-lama tinggal di dalamnya. Karena cinta, aku berjuang mengharumkan nama Solo di berbagai panggung kompetisi.

Ulat Bulu

(dimuat koran JOGLOSEMAR, 22 Agustus 2010)

Ketika mereka masih terbuai mimpi 
Aku telah usai mengejar matahari

Aku mempunyai ritual khusus sepulang dari sekolah. Setelah memarkirkan sepeda mini dan ganti baju, aku segera ke pekarangan rumah untuk bersemedi di atas pohon belimbing. Dengan cepat aku berada di pucuk ranting tertinggi. Di rumah pohonku inilah aku dapat melepas penat yang membebat dalam ruang kebebasan. Angka-angka matematika yang terpenjara dapat merdeka dengan sendirinya.

Sering kulamunkan masa depan yang belum berpeta dan kuraba mimpi-mimpi yang masih buta. Sembari menikmati buah belimbing yang ranum dan harum, kusaksikan rumpun pisang raja, pohon pepaya, singkong, terong dan cabe rawit. Semua bershaf-shaf rapi di bawah sana. Angin kemarau membelai rambutku hingga terurai. Menyisir lembut disetiap helai.

Aku mengagumi kakek. Hobi berkebunnya sangat luar biasa. Ia mengelompokkan tetumbuhan berdasarkan spesies dan marganya. Korban romusha di zaman penjajahan Jepang ini memang pandai. Sayang, ia tak mempunyai kesempatan belajar yang sama dengan anak-anak di masanya. Di sebelah selatan adalah rumpun warung hidup seperti bayam cabut dan terong. Sedangkan di sebelah utara dibuka apotik hidup spesies akar tinggal. Temu lawak, jahe, dan kencur misalnya. Laboratorium farmasi kakek ini selalu ramai dikunjungi tetangga terutama bila musim hujan tiba. Mereka akan berkunjung untuk memetik jahe. Kakek memberi mereka dengan harga cuma-cuma.

Senin, 04 November 2013

Labuhan Batu

(dimuat majalah INSTITUT UIN Jakarta)

Meletakkan koper, ransel dan membenahi duduk.

“ Yang, kita tidak bisa menghentikan waktu dan tak bisa menyibak macet. Kita hanya bisa berdo’a kepada sang Maha segala” suaranya berat penuh harap.

“ Yang, maafkan aku. Aku belum bisa menghadirkan kebahagiaan yang penuh buat Mayang” terdengar tulus dan sakit.

“Kita hanya bisa pulang dengan kereta ekonomi, tanpa AC dan WC” lanjutnya.

Lantas mataku menatapnya lekat. Ia meremas jemariku.

Humanisme di Gaza

(dimuat Buletin  NABAWI edisi ke 88 bulan Rajab 1431 H)

Islam adalah agama yang sangat menjunjung tinggi nilai kemanusiaan. Darah kaum muslimin dilindungi oleh agamanya, Islam. Lalu bagaimana dengan nasib saudara-saudara kita yang berada di Gaza? Mereka setiap saat diberondong dan dibombadir oleh Zionis Israel. Dalam kajian ini, penulis berupaya menyodorkan bukti bahwa Zionis Israel adalah musuh umat manusia (hostis humanis generic) dan telah melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity). Karena pada dasarnya kekejaman Zionis Israel terhadap penduduk Palestina berakar pada kemanusian (humanity) bukan konflik agama semata.

Perbuatan-perbuatan Israel terhadap penduduk Palestina yang paling aktual terhadap warga Gaza sungguh sulit dinalar. Mereka sungguh kejam, keji, raja tega, biadab dan sadis. Beberapa istilah tersebut sangat tepat dilekatkan kepada Israel. Bagaimana tidak, mereka membantai masal dan memberanguskan manusia, tidak peduli kategori-kategori yang sebetulnya dilarang dan disepakati secara internasional yang juga diratifikasi atau disetujui oleh Israel sendiri. Wanita, anak kecil, tua renta, dibabat habis tanpa pandang bulu. Ada analisis yang menyebutkan bahwa tewasnya anak-anak kecil di Gaza bukan sekedar “collateral damage” atau dampak yang tidak disengaja, tetapi merupakan kesengajaan supaya anak-anak tersebut jika telah dewasa tidak melakukan pembalasan kepada Israel.

Pemintal Matahari

(dimuat koran JOGLOSEMAR, 21 Maret 2010)

Penghujung tahun ini Ayah memutuskan untuk pindah ke desa sebelah setelah setahun menempati rumah di Kahuripan. Selama di Kahuripan setiap pagi sebelum ke kantor Ayah harus ngangsu ke waduk untuk memenuhi kebutuhan air sehari-hari. Dua ember di tali pada ujung-ujung sepotong bambu kemudian ia bebankan pada bahunya.

Setelah dinas pendidikan kabupaten setempat memindahtugaskan Ayah, kemudian ia memboyong kami ke rumah yang baru. Desa ini terletak di sebelah tenggara enam ratus meter dari Kahuripan. Ayah tak perlu lagi ngangsu setiap pagi, di desa ini air melimpah ruah. Petani bisa panen tiga hingga empat kali dalam setahun. Tanahnya subur. Rakyatnya makmur.

Rumahku terletak di ujung jalan menghadap ke selatan. Sebelah timur rumahku adalah sebuah rumah yang selalu terlihat sepi. Jarang tampak penghuninya. Hanya setiap pagi kulihat seorang pemuda suka berlama-lama di beranda dan kedua jongosnya, Marni dan Tejo sibuk meladeninya. Marni kukenal ketika suatu pagi kami sama-sama menyapu halaman rumah. Sedangkan Tejo aku tahu namanya dari Ayah, saat ia membantu Ayah mengangkat lemari.