Rabu, 27 November 2013

Ulat Bulu

(dimuat koran JOGLOSEMAR, 22 Agustus 2010)

Ketika mereka masih terbuai mimpi 
Aku telah usai mengejar matahari

Aku mempunyai ritual khusus sepulang dari sekolah. Setelah memarkirkan sepeda mini dan ganti baju, aku segera ke pekarangan rumah untuk bersemedi di atas pohon belimbing. Dengan cepat aku berada di pucuk ranting tertinggi. Di rumah pohonku inilah aku dapat melepas penat yang membebat dalam ruang kebebasan. Angka-angka matematika yang terpenjara dapat merdeka dengan sendirinya.

Sering kulamunkan masa depan yang belum berpeta dan kuraba mimpi-mimpi yang masih buta. Sembari menikmati buah belimbing yang ranum dan harum, kusaksikan rumpun pisang raja, pohon pepaya, singkong, terong dan cabe rawit. Semua bershaf-shaf rapi di bawah sana. Angin kemarau membelai rambutku hingga terurai. Menyisir lembut disetiap helai.

Aku mengagumi kakek. Hobi berkebunnya sangat luar biasa. Ia mengelompokkan tetumbuhan berdasarkan spesies dan marganya. Korban romusha di zaman penjajahan Jepang ini memang pandai. Sayang, ia tak mempunyai kesempatan belajar yang sama dengan anak-anak di masanya. Di sebelah selatan adalah rumpun warung hidup seperti bayam cabut dan terong. Sedangkan di sebelah utara dibuka apotik hidup spesies akar tinggal. Temu lawak, jahe, dan kencur misalnya. Laboratorium farmasi kakek ini selalu ramai dikunjungi tetangga terutama bila musim hujan tiba. Mereka akan berkunjung untuk memetik jahe. Kakek memberi mereka dengan harga cuma-cuma.

Sedangkan nenek, setiap hari membuka praktik di rumah. Tangan nenek sangat ramah dengan kulit bayi. Tak jarang ibu-ibu membawa bayinya ke rumah untuk dipijat. Seperti halnya kakek, nenek tidak memungut biaya pijat sepeserpun. Sebagai tanda terimakasih, seringkali para langganan nenek membawa bingkisan untuknya. Ketika si mungil pasien nenek menangis, aku akan segera menggodanya untuk tersenyum. Itulah sebabnya aku menyukai adik bayi.

Larut dalam cerita. Tanganku menjulur ke ranting pohon petai cina yang berada di samping pohon belimbing. Daunnya rimbun, buahnya melimpah dan menjuntai ke bawah. Semilir angin kemarau masih memanjakanku dan mengelus-elus bulu halus tanganku. Geli dan merangkak naik hingga ke siku.

“Aaaaaargh!” seekor ulat bulu telah menjamahi tanganku. Aku berteriak dan tangisku sesegukan, memanggil kakek. Ia segera membawaku turun dari pucuk pohon belimbing dan mengoleskan balsem di sepanjang lintasan ulat bulu di tanganku.

* * *  
Ketika mereka masih memerah susu  
Aku telah usai menghisap madu

 Sore itu tak ada jadwal ekstrakulikuler di sekolah ataupun les di lembaga bimbingan belajar. Dengan senang hati aku membantu kakek mbedol singkong. Kata kakek, singkong-singkong ini akan dibuat gethuk dan stik singkong. Aku jadi begitu bersemangat ketika membayangkan gethuk gurih buatan nenek ditaburi parutan kelapa muda dan diselimuti gula pasir halus.

Apalagi stik singkongnya, hmm kriuk abis!. Singkong yang diiris pipih itu kemudian dikeringkan. Lalu digoreng dengan gula jawa dan sedikit cabe rawit yang sudah ditumbuk halus terlebih dahulu. Pedasnya cabe rawit merasuk hingga ke urat saraf stik, dipadu dengan manisnya gula jawa yang menusuk hingga ke dalam sumsum putihnya. Yummy!.

Stik singkong jamuanku belajar itu telah sukses mengantarku ke gelanggang olimpiade Mipa tahun lalu. Hingga tahun terakhir menyelesaikan studiku di sekolah dasar aku mendapat penghargaan sebagai siswa teladan. Itulah mengapa aku sangat menyayangi nenek, meskipun ia hanya nenek tiriku.

“Selain dibikin gethuk sama stik, singkong bisa dimasak apa lagi Nek?”

“Banyak Lintang, dimasak jadi keripik singkong, kolak singkong, gaplek, lentho, utri dan lain sebagainya.”

“Lentho sama utri itu seperti apa sih, Nek?”

“Itu jenis jajanan pasar. Lentho itu bentuknya bulat, dari parutan singkong yang telah diambil saripatinya. Kalau utri dari parutan singkong yang dicampur dengan parutan kelapa muda ditambah sedikit gula jawa lalu dibungkus dengan daun pisang.”

“Wah, nanti Nenek masak lentho dan utri juga, ya?” pintaku riang.

“Pasti, Lintang.” Nenek tersenyum senang.

Lalu aku menuju tempat di mana kakek telah menemukan pohon singkong yang telah cukup tua untuk dibedhol. Membantunya menyingkirkan dedaunan kering yang menutupi gundukan tanah yang berisi singkong. Lama anganku mengembara. Membuatku lupa pada daratan tempat tanganku beradu dengan bongkahan tanah yang menua. Bongkahan itu mengubur tubuh singkong yang padat nan montok. Kulit arinya bercat coklat berkerut-kerut. Epidermisnya berwarna putih susu, sedangkan dagingnya putih kapas.

“ Wow! Lihat ini Kek! Lintang dapat singkong besar” pamerku girang. Kakek tertawa riang. Tanganku kembali mengaduk-aduk tanah. Bongkahan tanah perlahan merekah. Semakin terlihat singkong yang terpendam, kian menggebu tanganku beradu dengan tanah abu-abu. Kutelusuri tiap pucuk-pucuk singkong yang menancap ke dasar bumi.

“Aaaaargh!” dari balik batu, seekor ulat bulu berlari menuju jemari kiriku. Aku berteriak dan tangisku sesegukan, memanggil kakek. Ia segera mengolesi balsem di sepanjang lintasan ulat bulu di tanganku.

 * * * 
Ketika mereka masih bermain hujan 
Aku telah usai menggembala awan

Awan gemawan hari ini terbang rendah seperti kapas. Berarak begitu saja mengikuti arah angin kemana pergi. Satu yang tak dapat dikhianati. Langit hakikatnya tinggi. Baik pohon jati ataupun cakar beton yang menancap di bumi tak dapat menandingi. Benar bila bidadari lebih memilih berdomisili di langit dengan bau surgawi. Tinggalah bangkai-bangkai najis terkapar di bumi yang suci. Juga bangkai ulat bulu yang sangat kubenci.

Kemarin aku, Lili dan Maya berkirim pesan melalui surat kaleng bahwa hari ini kami akan pasaran di kebun belakang. Selepas mencuci sepeda mini, aku segera menggelar tikar di bawah pohon nangka berjajar dengan rumpun pisang raja. Di ujung kebun ini terdapat sungai yang menyisiri bebatuan kali. Sungai itu memagari desaku, Telaga dengan desa Tanjung.

Jam Sembilan tepat, Lili dan Maya tiba di kebun. Kami berlarian mengitari kebun di antara pepohonan yang tinggi menjulang. Setelah mengucur keringat dari tubuh kami dan menghela nafas panjang diatas tikar, acara dilanjutkan dengan menyalakan api unggun. Beberapa sesaji telah kusiapkan sebelumnya. Singkong, ubi madu dan jagung telah siap dibakar. Satu teko es teh manis juga telah menanti.

Sembari menunggu jagung bakar tanak, kami menyanyikan lagu-lagu pramuka yang sarat dengan semangat. Sebenarnya kami kurang suka kalau Maya ikut menyanyi, sebab suaranya mirip dengan nada bayati qoror yang nglokor. Ia membuat paduan suara kami jadi sumbang. Sebaliknya dengan Lili, kami selalu merindukan suara emasnya.

Seringkali bila ada acara pesta siaga pramuka atau acara akhirussanah di sekolah, kepala sekolah memintaku bersama Lili menyanyikan beberapa lagu shalawat milik Hadad Alwi. Kemudian aku sibuk menyiapkan pita dan accessories bunga untuk menghias jilbabku. Tak ketinggalan kostum yang direnda dengan pita yang serupa untuk tampil pada acara itu. Setelah itu, aku dan Lili akan menari gemulai di atas panggung.

Aku bergegas memetik selembar daun pisang untuk tempat jagung bakar yang sudah matang. Segera kami menyerbu jagung rasa pedas manis itu. Dalam sekejap tangan kami beralih pada cangkir-cangkir berisi es teh manis. Gelak tawa menggema di sela-sela canda dan cerita. Menggantikan sunyi dengan gemuruh yang riuh.

Tak lama kemudian kami dikejutkan dengan kedatangan ulat bulu yang terjatuh dari pohon nangka tak jauh dari tempat kami bercengkrama. Perutnya melenggak-lenggok dengan bulu yang menyesaki seluruh bagian tubuhnya. Ia menjijikkan dan menyeramkan. Kami berlari meninggalkan tikar dan sisa jamuan yang telah kami makan.

Lantas kakek meletakkan ulat bulu itu ke dalam toples kaca. Kami terkesima.

“Ulat bulu ini berbahaya, setiap helai bulu halusnya mengandung racun dan ia sangat menakutkan bukan?”

Kami diam, saling memandang.

“Jika ulat bulu ini telah bermetamorfosa, maka akan menjadi kupu-kupu yang cantik dan mempesona.” Lanjut kakek menjelaskan.

Sejak saat itu, kala pagi mengintip atau senja berpamitan, aku selalu memandangi toples kaca itu. Menanti ulat bulu bermetamorfosa menjadi kupu-kupu yang cantik. Hingga hujan turun dan pelangi putih kembali, tiba saatnya kupu-kupu itu keluar dari kepompongnya.

Mula-mula ia mengepakkan sayap lalu terbang tinggi dengan pesonanya. Ia laksana seorang putri memamerkan kemolekannya. Sesampainya di taman bunga, kupu-kupu itu meloncat-loncat di antara ribuan bunga. Dengan leluasa ia dapat menghisap madu sesukanya. Bunga yang harum dan merekah ia pilih, yang biasa-biasa saja ia tinggalkan.

“Bagaimana, kamu mulai suka dengan ulat bulu?” kedatangan kakek mengagetkanku.

“Eh, kakek!”

“Kamu sudah selesai membaca cerpen ini ‘kan?”

“Sudah, Kek. Aku pengen jadi seperti kupu-kupu yang cantik mempesona!” Aku melipat kertas berisi cerpen Ulat Bulu yang diberikan oleh kakek kemarin lusa.

“Nah, kamu siap menerima tantangan Kakek? Biar jadi seperti kupu-kupu.”

Aku melongo. Tawa kakek terkekeh-kekeh. Terlihat benar kedua gigi taringnya telah tiada. Kemudian ia mengelus-elus rambutku menyalurkan kasih sayang.

“Mulai sekarang kamu harus puasa sehari penuh.”

Aku mengernyitkan dahi.

“Lho, katanya pengen seperti kupu-kupu? Ulat bulu aja puasa dulu jadi kepompong. Ia ndak makan, minum dan menahan nafsu lalu baru jadi kupu-kupu.”

“Tapi aku masih kecil, Kek.” Sanggahku.

“Kamu mau, kalah sama ulat bulu?” ejek kakek.

“Oo berarti Kakek hari ini puasa karena Kakek ini ulat bulu ya?”

“?!” kakek melengos begitu saja.                                        

Jakarta, 27 Oktober 2009

2 komentar:

  1. Top!
    Cerita waktu kamu kecil memang menggemaskan :)
    Semoga kakek bahagia di sisi-Nya, amin

    BalasHapus
  2. suwun..
    amiiin, simbah semoga sudah di surga-Nya..

    BalasHapus