Senin, 04 November 2013

Pemintal Matahari

(dimuat koran JOGLOSEMAR, 21 Maret 2010)

Penghujung tahun ini Ayah memutuskan untuk pindah ke desa sebelah setelah setahun menempati rumah di Kahuripan. Selama di Kahuripan setiap pagi sebelum ke kantor Ayah harus ngangsu ke waduk untuk memenuhi kebutuhan air sehari-hari. Dua ember di tali pada ujung-ujung sepotong bambu kemudian ia bebankan pada bahunya.

Setelah dinas pendidikan kabupaten setempat memindahtugaskan Ayah, kemudian ia memboyong kami ke rumah yang baru. Desa ini terletak di sebelah tenggara enam ratus meter dari Kahuripan. Ayah tak perlu lagi ngangsu setiap pagi, di desa ini air melimpah ruah. Petani bisa panen tiga hingga empat kali dalam setahun. Tanahnya subur. Rakyatnya makmur.

Rumahku terletak di ujung jalan menghadap ke selatan. Sebelah timur rumahku adalah sebuah rumah yang selalu terlihat sepi. Jarang tampak penghuninya. Hanya setiap pagi kulihat seorang pemuda suka berlama-lama di beranda dan kedua jongosnya, Marni dan Tejo sibuk meladeninya. Marni kukenal ketika suatu pagi kami sama-sama menyapu halaman rumah. Sedangkan Tejo aku tahu namanya dari Ayah, saat ia membantu Ayah mengangkat lemari.

Setiap pagi ketika menyapu halaman aku selalu bersama Marni. Tapi ia tak banyak bicara, hanya mengucapkan selamat pagi dan tersenyum. Selebihnya ia diam. Aku hendak menanyakan nama pemuda itu namun selalu gugur keinginanku. Pernah aku berharap Marni bercerita tentang pemuda itu tetapi harapanku kosong.

Setiap pagi pemuda itu selalu berlama-lama di beranda. Tangannya sibuk membolak-balik koran. Entah apa yang dicarinya. Sesekali ia menoleh ke arah timur. “Matahari sudahkah terbit seutuhnya atau belum?” gumamnya. Kemudian ia memanggil Marni untuk minta dibikinkan kopi. Setelah Marni membawakan secangkir kopi disusul Tejo membawa mesin ketik untuknya. Lalu jemarinya mulai sibuk menjalankan mesin ketik itu. Begitu setiap pagi hingga matahari terbit seutuhnya.

Rasa penasaranku menggelanyut pada langit hati. Tidak seperti orang-orang desa lainnya yang ramah tamah dan selalu bertegur sapa, sehingga rasa kekeluargaan sangat hangat terasa. Tetapi berbeda dengan pemuda itu, kehadiranku sebagai tetangga terdekatnya terasa sangat asing.

Suatu hari Ibu memintaku membeli bothok udang di warung nasi Mbok Darmi. Tempatnya tidak jauh dari rumahku, hanya lima puluh meter saja.

“Mbok, bothok udangnya tiga bungkus,” pintaku setibanya di warung.

“Tunggu sebentar ya, kebetulan masih dikukus Nduk. Tapi sebentar lagi mateng kok.”

“Iya, Mbok.” lantas aku keluar dan duduk di bangku depan warung.

Panas matahari mulai terasa menyengat kulit, waktunya ngaso bagi para petani. Rombongan petani tampak berduyun-duyun menuju ke warung Mbok Darmi. Suasana warung seketika menjadi ramai. Obrolan dan tawa petani berderai.

Tanpa sengaja kudengar mereka bercerita tentang tetangga terdekatku itu. Seorang pemuda yang selalu berlama-lama di beranda rumahnya setiap matahari menjelang hingga terbit seutuhnya.

“Jo, kowe ngerti pemuda aneh itu? Sejak kedatangannya ke desa kita ini sampai sekarang kok kita belum tahu namanya ya?”

“Iya, lha piye? Dia juga ndak pernah srawung sama tetangga. Sampean ketua RT seharusnya mencari tahu. Ya tho pak Dul?” orang yang ditanyanya hanya mengangguk saja.

“Sudah aku tanyakan ke Marni sama Tejo tapi mereka juga ndak tahu. Lha aneh tho? Katanya anak itu dikirim oleh orang tuanya dari kota. Ibunya minggat, Bapaknya ke luar negeri. Marni sama Tejo disuruh ngasuh anak itu.”

“Oo. . .lha apa dapat gaji tho?”

“Kata Tejo setiap bulan dapat kiriman. Pernah juga dapat telegram dari bapaknya itu.”

“Esok-esok pemuda itu duduk di beranda, kerjanya mbolak-mbalik koran thok. Koran kok ndak dibaca?” sahut yang lainnya.

“Mungkin dia ndak bisa mbaca, tapi bisa ngetik aja.”

“Oo. . lha bodho tenan. Udah besar kok ndak bisa mbaca!. Jangan-jangan ngetik aja juga ngawur!”

Lalu mereka menyruput kopi hitam dan tenggelam dalam hidangan yang mereka nikmati. Tak berselang lama Mbok Darmi menyerahkan tiga bungkus bothok udang kepadaku. Aku bergegas pulang setelah mengucapkan terima kasih kepadanya.

Sesampainya di rumah aku selalu berharap pagi lekaslah datang. Dalam malam-malam panjang aku terbayang. Mengapa dia hanya ke luar rumah bila matahari menjelang. Kemudian ia takkan tampak lagi hingga hari beranjak petang.

Setiap pagi sembari menyapu halaman, diam-diam aku mengamatinya. Tubuhnya yang gagah itu ketika membolak-balik koran, menyruput kopi, lalu jemarinya akan sibuk dengan mesin ketik menjadi keindahan yang sanggup menyita hatiku. Lambat laun aku gemar menikmatinya. Entah sejak kapan.

Ketika tubuhnya tersiram cahaya hangat, sesekali ia menoleh ke arah timur. “Matahari sudahkah terbit seutuhnya atau belum?” gumamnya. Perlahan matahari lahir seperempat, setengah, tiga perempat hingga terbit seutuhnya lantas pemuda itu menghentikan mesin ketiknya dan masuk ke dalam rumah. Begitu setiap pagi hingga matahari terbit seutuhnya.

* * *

Suatu pagi aku tak ingin menyapu halaman. Pagi-pagi buta aku telah bersiap-siap dengan secangkir kopi ditanganku lalu aku duduk di beranda. Kali ini aku hanya ingin menikmati keindahannya saja. Tapi pemuda itu belum tampak di beranda rumahnya. Ia baru keluar rumah bila cericit burung telah menggema dari pucuk-pucuk pohon bambu.

“Pelan-pelan tuan!” kudengar suara Tejo dari dalam. Kulihat langkahnya sangat hati-hati. Sebelum duduk tangannya meraba tempatnya hendak melakukan ritual pagi. Sesekali ia menoleh ke arah timur. “Matahari sudahkah terbit seutuhnya atau belum?” gumamnya.

Benar-benar kuperhatikan setiap gerak gerik jemarinya menari di atas mesin ketik. Mataku tak lepas dari ingsutnya. Ia begitu indah tersiram cahaya hangat keemasan.

Jemarinya bergerak tak beraturan. Semakin cepat jemarinya menjalankan mesin ketik, semakin utuh pula matahari itu terbit. Ia cepatkan lagi jemarinya hingga keringat bercucuran dari dahinya dan semakin sempurna pula matahari itu terbit dengan emasnya.

Bulat mataku terus mengawasinya. Sungguh indah ia, seperti pemintal benang menggunakan mesin pintal. Tetapi dengan mesin ketik itu aku tak tahu ia memintal apa. Entah kata, sajak atau puisi aku tak peduli. Aku menyebutnya pemintal matahari saja.

Tak kulewatkan pagi-pagiku melainkan dengan pemintal matahari itu hingga aku tak ingin menyapu halaman lagi. Pada suatu pagi aku telah lama menunggu pemintal matahari itu keluar dari rumahnya. Hingga matahari telah terbit seutuhnya dan cahayanya meninggi ia tak tampak ada di beranda. Diam-diam rindu menghampiriku. Pikiranku resah. Hatiku gundah. Aku gelisah.

Lalu aku berjalan ke selatan hendak menuju sungai Kapas. Airnya jernih tampak putih seperti kapas. Aku berbagi kegelisahan dengan gemericik air dan kecipak ikan di sungai itu. Sesekali kulemparkan kerikil ke permukaan sungai lalu membentuk bulatan kecil kemudian membesar dan akhirnya menghilang.

“Kenapa melamun Sari?” tanya seorang perempuan yang tak kusadari kehadirannya.

“Eh, Marni!” aku kaget.

“Kenapa pagi-pagi begini ada di sini?”

“Lagi pengen nengok sungai saja. Kamu sendiri mau kemana?”

“Mau ke warung Mbok Darmi, Tejo minta dibeliin mendoan,” ia tersenyum.

“Marni ndak masak? Tumben pagi-pagi begini ndak sibuk di rumah?”

“Wong kami sekarang cuma tinggal berdua saja, tuan sudah pergi. Jadi buat apa capek-capek masak?”

“Oo. . Kalau boleh tahu tuanmu kemana?”

Marni menunduk. Aku mengangguk-angguk.

“Kalau ndak boleh tahu yo wis, Ni.”

“Maaf, tuan telah berpesan tidak boleh memberi tahu kepada siapapun tentang kepergiannya.”

“Iya, ndak pa-pa,” senyumku padanya.

Lalu Marni melangkah pergi. Aku kembali berkawan sunyi. Kutengok ke tepi hati. Gundah gulana masih meraja di sana. Hatiku tak berdusta. Aku benar merindukannya. Tak kusadari air mataku menjerit-jerit. Rongga dadaku menyempit. Jantung hatiku tehimpit. Pergilah pemintal matahari!.

* * *

Setelah pertemuanku dengan Marni di tepi sungai Kapas beberapa hari lalu, kini setiap pagi aku kembali akrab dengan sapu lidi. Tetapi tidak dengan Marni, sudah tiga hari ini ia tak tampak. Sejak kepergian pemintal matahari, Marni dan Tejo ikut menghilang. Sekarang rumah itu benar-benar sepi tak berpenghuni.

Hari ini Ayah pulang cepat, ia mendapat telegram bahwa eyang sakit dan dirawat di rumah sakit. Lalu kami segera berangkat ke kota. Rumah sakit tempat eyang dirawat berada di tengah kota dua puluh kilometer dari desa.

“Eyang sakit apa tho Yah?” tanyaku penasaran.

“Kanker prostat!” jawabnya singkat.

“Dioperasi ya?”

“Iya. Sudah jangan banyak tanya, nanti Sari lihat sendiri saja.”

Setelah angkudes yang kami tumpangi berhenti di batas kota, kemudian kami oper ke angkuta. Pemerintah setempat membuat route angkudes hanya sampai batas kota sehingga kami harus ganti angkuta untuk sampai ke rumah sakit tempat eyang dirawat.

Setelah tiba di rumah sakit dan melewati lorong panjang, kami tiba di sebuah barak yang sesak dengan bau obat yang menyengat. Rumah sakit bukanlah tempat yang hangat. Di setiap sudut kamar penuh dengan rintihan berbalut duka.

Setelah kumasuki kamar tempat eyang dirawat, kulihat wajahnya kian menua. Aku menatapnya pilu. Tak tega aku melihat eyang dililit banyak selang. Dosa apakah yang membuatnya harus menderita diusia senja?. Eyang tidak dapat kencing dengan sewajarnya. Dari ujung kelaminnya dipasang selang dan berakhir pada sebuah ember di bawah tempatnya berbaring sebagai tempat penampung air seninya. Air yang menetes dari ujung kelaminnya itu menetes setiap saat tanpa ia kehendaki. Kudengar eyang juga butuh tiga kantong darah untuk dapat melakukan operasi. Tiba-tiba perutku mual. Bau pesing dari ember di bawah ranjang tempat eyang berbaring tak dapat kutahan. Aku segera keluar dan berlari ke toilet.

“Dubb!” aku telah menabrak seseorang.

“Maaf, maaf. Aku buru-buru ke toilet, perutku mual!” aku segera minta maaf takut orang tersebut marah.

Orang yang baru saja kutabrak diam saja. Ia menatapku tanpa arti dan ekspresi. Sorot matanya sayu. Sinar mukanya layu. Bulat mataku menyisiri wajahnya. Aku pernah mengenalnya. Kupastikan sekali lagi aku tak salah orang.

“Kamu. .? Ah, aku tak tahu namamu. Tapi kau pemintal matahari itu ‘kan?!” ia diam saja tak menghiraukanku.

“Hei, kamu ndak dengar aku ngomong?! Aku minta maaf telah menabrakmu tadi.” pintaku sekali lagi. Ia membisu. Suasana beku.

“Kenalin namaku Sari, kamu?” aku mengulurkan tangan.

Lalu ia menoleh dan meraba hendak meraih tanganku. Aku tercengang!.

“Ka-mu bu-ta?!” gumamku lirih.

Sragen, 2 Februari 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar