Rabu, 04 Desember 2013

Memutus Rantai Kemiskinan di Indonesia

Mengapa memilih ekonomi syariah lebih menguntungkan? Sebab, ekonomi syariah menjunjung tinggi nilai keadilan dan kemaslahatan bersama. Keadilan merupakan pilar penting dalam ekonomi syariah. Sedangkan kemaslahatan (mashlahah) adalah tujuan utama syariah (maqâshid al-syariah). Ekonomi syariah tidak memperbolehkan harta dan kekayaan hanya dikuasai oleh segelintir orang saja. Untuk mendistribusikan kekayaan agar merata, maka diskriminasi harus dihapuskan dan pemberian kesempatan kerja yang sama kepada setiap orang. Sehingga, setiap orang menerima hasil dan pendapatan sesuai dengan kemampuan yang dimiliki. Hal ini ditegaskan oleh Monzer Kahf (1979)[1] bahwa perbedaan kekayaan yang dimiliki oleh setiap manusia karena potensi dan usaha yang dilakukan adalah suatu wujud keadilan.
    Sebagaimana yang dipaparkan oleh Muhammad Baqir Ash-Shadr (1968)[2] dalam salah satu karya masterpiece-nya Iqtishâdunâ, ekonomi syariah mengakui perbedaan kekayaan sebagai konsekuensi dari perbedaan potensi intelektual, spiritual, dan fisik yang dimiliki oleh setiap individu. Untuk itu, uang yang tersedia harus berputar di semua lapisan masyarakat agar setiap individu mampu hidup dalam satu standar hidup yang umum. Dengan demikian, keseimbangan dan keadilan sosial dapat diperjuangkan dalam batas-batas kemampuan dan kapasitas setiap individu. Untuk mewujudkan tujuan ini, ekonomi syariah memberi penekanan terhadap pengentasan anggota masyarakat yang hidup di bawah standar hidup atau di bawah garis kemiskinan.
Ekonomi syariah menginginkan keadilan sosial dan mengintegrasikannya dalam sistem dan proses pendistribusian pendapatan, sehingga semua individu mampu memiliki standar hidup yang merata dan harmonis. Veithzal Rivai (2012)[3] menyatakan bahwa bagian dari konsep redistribusi dalam ekonomi syariah adalah memberikan keadilan bagi mereka yang sudah bekerja dan mereka yang telah bekerja tersebut membayar zakat kepada kaum miskin. Pengertian kaum miskin adalah mereka yang tidak bisa mendapatkan kehidupan yang layak atas hasil usaha mereka, karena keterbatasan dan kecacatan.

Ali Syariati (1984)[4] menyebutkan dua pertiga ayat-ayat al-Quran berisi tentang keharusan menegakkan keadilan. Keadilan sosio-ekonomi dan pemerataan pendapatan dalam ekonomi syariah merupakan bagian tak terpisahkan dari filsafat moral Islam. Untuk itu, menurut Veithzal Rivai (2012)[5] konsep keadilan dalam ekonomi syariah harus dibedakan dengan keadilan dalam konsep kapitalis. Konsep keadilan sosio-ekonomi dalam kapitalis tidak didasarkan pada komitmen spiritual dan persaudaraan universal, tetapi didasarkan pada komitmen sebagai akibat dari tekanan kelompok. Maka, sistem kapitalisme, terutama yang terkait dengan uang masyarakat di bank konvensional dan dominan hanya digunakan oleh konglomerat serta disalurkan kepada pengusaha besar.
Fenomena ini jelas terjadi di Indonesia, yang mana rakyat kecil menjadi mayoritas penduduknya. Implikasinya, ketidakadilan dan kesenjangan sosial semakin tajam. Kaum kaya pun semakin kaya dan kaum miskin semakin miskin.         

Memutus Rantai Kemiskinan: Koperasi Mitra Dhuafa Belajar dari Grameen Bank
Kemiskinan adalah masalah kronis di Indonesia. Melebarnya jurang pemisah antara kaum kaya dan kaum miskin menjadi bencana besar dalam ekonomi. Kemiskinan muncul akibat ketidakberdayaan masyarakat dan menjadi realitas sosial sebagai dampak dari proses pembangunan. Mudrajad Kuncoro (2013)[6] menegaskan bahwa kesenjangan merupakan konsekuensi logis pembangunan dan merupakan suatu tahap perubahan dalam pembangunan itu sendiri. Oleh karena itu, tujuan pembangunan tidak hanya meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita, tetapi juga sebagai proses pemerataan dan distribusi nilai tambah tertentu dalam kegiatan ekonomi.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa pada tahun 2011, rata-rata tingkat kemiskinan setiap provinsi di Indonesia sebesar 13,21%. Di Jawa dan Bali, sebanyak 16,89 juta penduduknya hidup di bawah garis kemiskinan. Masih tingginya angka kemiskinan di Indonesia bukan tanpa upaya pemerintah untuk menguranginya. Pemerintah telah melakukan beberapa langkah strategi pengurangan kemiskinan seperti memberikan Bantuan Operasional Sekolah (BOS), menggulirkan dana Program Nasional Pemberdayaan masyarakat (PNPM), dan menyalurkan Kredit Usaha Rakyat (KUR). Namun, pelaksanaan langkah-langkah tersebut selama ini cenderung parsial.
Pengentasan kemiskinan harus dilakukan dengan memutus rantai dan mencabut akar penyebabnya. Jika upaya yang dilakukan cenderung parsial, seperti memberikan bantuan langsung berupa sembako dan uang tunai, maka hal ini hanya bersifat temporer dan mendorong kaum miskin berpola konsumtif. Langkah yang tepat adalah menuntaskan kemiskinan secara struktural dengan mencabut akar penyebabnya. Bentuk upaya yang dapat dilakukan adalah memberi bantuan modal produktif dan meningkatkan keterampilan melalui pelatihan gratis. Upaya konkrit ini telah dilakukan oleh Muhammad Yunus (1976)[7] dengan merintis Grameen Bank di Jobra, Bangladesh.
 Melalui Grameen Bank, Yunus merancang skema keuangan mikro yang memungkinkan untuk memberikan pinjaman kecil kepada masyarakat berpenghasilan rendah dan unbankable. Yunus tidak hanya memberikan pinjaman kecil, tetapi juga mendidik kaum miskin tentang manajemen uang, mengembangkan tabungan, dan mengelola uang. Sebesar 45% rakyat Bangladesh hidup di bawah garis kemiskinan dan kini Yunus mampu membawa mereka keluar dari kemiskinan melalui proses keuangan mikro. Muncul banyak pertanyaan, dapatkan kemiskinan dihilangkan dari muka bumi? Yunus menjawab dengan jelas, “Ya”. Yunus menuturkan, Grameen telah memberinya sebuah keyakinan tak tergoyahkan dan kepercayaan yang kuat bahwa umat manusia tidak dilahirkan untuk menderita akibat kelaparan dan kemiskinan. Kemiskinan adalah sesuatu yang dibuat dan dipaksakan dari luar kepada seseorang. Untuk itu, karena berasal dari luar, kemiskinan dapat dihilangkan. 
Lembaga-lembaga keuangan dan bank-bank konvensional raksasa menolak untuk memberikan layanan finansial kepada kaum miskin dan hal ini sama dengan membiarkan hampir dua pertiga penduduk dunia tak tersentuh layanan finansial. Satu alasan yang mendasari hal tersebut adalah bahwa kaum miskin tidak layak kredit. Lalu, bagaimana kaum miskin yang unbankable dapat menerima pinjaman dari Grameen Bank? Grameen Bank memang melakukan gebrakan dan pembuktian besar dengan meminjamkan lebih dari 100 juta dolar per bulan dalam bentuk pinjaman tanpa agunan (collateral – free loans). Tingkat pembayaran kembali pinjaman tersebut oleh kaum miskin tetap sangat tinggi, sebesar 98%. Bahkan, Grameen Bank telah memberi pinjaman kepada pengemis untuk berjualan kecil-kecilan. Jadi, semakin miskin seseorang maka semakin layak untuk mendapatkan pinjaman. Pembuktian Grameen Bank bahwa memberi pinjaman kepada kaum miskin tidak hanya memungkinkan tetapi juga dapat menguntungkan, semakin memperjelas kekeliruan asumsi lama ‘bank tidak dapat memberi pinjaman kepada kaum miskin lantaran tidak memiliki agunan’.    
Sementara Yunus giat melakukan pencakokan Grameen Bank ke seluruh Bangladesh, beberapa ekonom di dunia sibuk melakukan replikasi Grameen Bank di negara masing-masing. Di Indonesia, Koperasi Mitra Dhuafa (Komida)[8] adalah salah satu wujud replikasi Grameen Bank. Koperasi ini dirintis sejak gempa bumi hebat dan tsunami meluluhlantakkan Aceh. Hingga Juli 2013, Komida telah memiliki anggota sebanyak 129.347 orang dan 58 kantor cabang yang tersebar dari ujung Aceh hingga Nusa Tenggara Timur. Berpegang kepada slogan ‘we care the poorest women’, Komida berkomitmen untuk memberi pinjaman kepada kaum perempuan miskin dan menyelenggarakan proses pemberdayaan masyarakat. Berbekal dari pengalaman tinggal bersama Muhammad Yunus dan anggota Grameen Bank (kaum miskin) di Bangladesh, Komida berjuang untuk menjadikan para mustahik zakat (penerima zakat) di Indonesia menjadi muzakki (pembayar zakat).
Sebagai lembaga grassroot microfinance, Komida berkeyakinan bahwa semakin miskin maka semakin layak mendapat pinjaman. Kehadiran Komida di tengah-tengah kaum miskin dengan memberi akses keuangan berkelanjutan telah menghasilkan double impact yaitu peningkatan pendapatan dan penyerapan tenaga kerja. Komida membidik kaum perempuan miskin sebagai anggota, sebab perempuan merupakan agen perubahan yang sangat aktif dan efektif dalam melakukan transformasi sosial. Sebagaimana pengalaman Grameen Bank, Yunus menyatakan bahwa peminjam perempuan mendatangkan keuntungan bagi keluarga jauh lebih banyak daripada peminjam laki-laki. Perempuan mempunyai dorongan lebih kuat untuk mengatasi kemiskinan.
Komida dalam memberikan pinjaman tanpa mensyaratkan agunan. Sama dengan prinsip ekonomi syariah, sifat kejujuran dan amanah dijunjung tinggi di sini. Antara Komida dan anggotanya saling percaya dan menjaga amanah. Ekonomi syariah mengajarkan nilai keadilan dan tolong-menolong (ta’awun), maka Komida menerapkan sistem tanggung renteng yang bertujuan untuk mencegah terjadinya pembayaran macet. Kendati menggunakan sistem tanggung renteng, tetapi nilai keadilan tetap ditegakkan dengan menjamin bahwa pendapatan individu tergantung kepada hasil kerja keras masing-masing anggota dan tidak ada yang dirugikan. Tanggung renteng juga dimaksudkan untuk menciptakan kemaslahatan bersama. Grameen Bank dan Koperasi Mitra Dhuafa telah membuktikan, kemiskinan dapat diatasi dengan menerapkan keadilan dan mengutamakan kemaslahatan bersama (mashlahah). Maka, semakin jelas bahwa penerapan ekonomi syariah merupakan harapan cerah untuk membantu menghilangkan kemiskinan dan menghapus kesenjangan sosial di Indonesia.


[1]Monzer Kahf, The Islamic Economy: Analitical Study of the Functioning of the Islamic Economic System (Canada: Plainfield, 1979).
[2]Muhammad Baqir Ash-Shadr, Iqtishâdunâ (Beirût: Dâr al-Fikr, 1973), Cet. IV.
[3]Veithzal Rivai dan Antoni Nizar Usman, Islamic Economics and Finance: Ekonomi dan Keuangan Islam bukan Alternatif tetapi Solusi (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2012).
[4]Majid Kahduri, The Islamic Conception of Justice, 1984.
[5]Veithzal Rivai dan Antoni Nizar Usman, Islamic Economics and Finance: Ekonomi dan Keuangan Islam bukan Alternatif tetapi Solusi (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2012).
[6]Mudrajad Kuncoro, Mudah Memahami dan Menganalisis Indikator Ekonomi (Yogyakarta: UPP STIM YKPN, 2013).
[7]Muhammad Yunus and Karl Weber, Building Social Business: The New Kind of Capitalism that Serves Humanity’s Most Pressing Needs (New York: Public Affairs, 2011). Lihat juga: Muhammad Yunus and Alan Jolis, Banker to The Poor: The Story of The Grameen Bank (London: Aurum Press Ltd, 2010), dan Muhammad Yunus, Creating a World Without Poverty: Social Business and the Future of Capitalism (New York: Public Affairs, 2007).
[8]Slamet Riyadi dan Sugiarti, Lembaga Keuangan Mikro Antara Teori dan Praktek: Sebuah Pengalaman dari Komida dalam Mengembangkan Lembaga Keuangan Mikro untuk Perempuan Miskin (Jakarta: Koperasi Mitra Dhuafa, 2012). Lihat juga: Pemberdayaan Masyarakat Melalui Keuangan Mikro: Pengalaman Koperasi MItra Dhuafa Cabang bantul (Jakarta: Yayasan Mitra Dhuafa, 2011).

9 komentar:

  1. Sangat setuju. memang sudah seharusnya Ekonomi Syariah tdk hanya berkutat pd sharia compliance aj, tapi scara lngsung juga ''bermanfaat bagi umat manusia = mengatasi kemiskinan!''

    BalasHapus
  2. Betul! Ekonomi syariah kan tujuan utama (maqashid syariah)-nya utk mencapai mashlahah. Jadi memang harus mendatangkan mashlahah bagi rakyat kecil dan miskin, agar ES tdk hanya mndtangkan keuntungan bagi kaum kota nan kaya aja :)

    BalasHapus
  3. Semangat membumikan ekonomi syariah!
    ditunggu tulisan2 selanjutnya, terus berkarya ya nduk..

    BalasHapus
  4. Njih.. :)
    Go ekonomi syariah! Go!

    BalasHapus
  5. Go! Go! :)
    ekonomi syariah untuk rakyat kecil!

    BalasHapus
  6. diskusi yang menarik, lanjut... hehe

    BalasHapus