Mengapa memilih ekonomi syariah lebih menguntungkan? Sebab, ekonomi
syariah menjunjung tinggi nilai keadilan dan kemaslahatan bersama. Keadilan
merupakan pilar penting dalam ekonomi syariah. Sedangkan kemaslahatan (mashlahah)
adalah tujuan utama syariah (maqâshid al-syariah). Ekonomi syariah tidak
memperbolehkan harta dan kekayaan hanya dikuasai oleh segelintir orang saja. Untuk
mendistribusikan kekayaan agar merata, maka diskriminasi harus dihapuskan dan
pemberian kesempatan kerja yang sama kepada setiap orang. Sehingga, setiap
orang menerima hasil dan pendapatan sesuai dengan kemampuan yang dimiliki. Hal
ini ditegaskan oleh Monzer Kahf (1979)[1]
bahwa perbedaan kekayaan yang dimiliki oleh setiap manusia karena potensi dan
usaha yang dilakukan adalah suatu wujud keadilan.
Sebagaimana
yang dipaparkan oleh Muhammad Baqir Ash-Shadr (1968)[2] dalam
salah satu karya masterpiece-nya Iqtishâdunâ, ekonomi syariah
mengakui perbedaan kekayaan sebagai konsekuensi dari perbedaan potensi
intelektual, spiritual, dan fisik yang dimiliki oleh setiap individu. Untuk
itu, uang yang tersedia harus berputar di semua lapisan masyarakat agar setiap
individu mampu hidup dalam satu standar hidup yang umum. Dengan demikian,
keseimbangan dan keadilan sosial dapat diperjuangkan dalam batas-batas
kemampuan dan kapasitas setiap individu. Untuk mewujudkan tujuan ini, ekonomi
syariah memberi penekanan terhadap pengentasan anggota masyarakat yang hidup di
bawah standar hidup atau di bawah garis kemiskinan.
Ekonomi syariah menginginkan keadilan sosial dan
mengintegrasikannya dalam sistem dan proses pendistribusian pendapatan,
sehingga semua individu mampu memiliki standar hidup yang merata dan harmonis.
Veithzal Rivai (2012)[3] menyatakan
bahwa bagian dari konsep redistribusi dalam ekonomi syariah adalah memberikan
keadilan bagi mereka yang sudah bekerja dan mereka yang telah bekerja tersebut
membayar zakat kepada kaum miskin. Pengertian kaum miskin adalah mereka yang
tidak bisa mendapatkan kehidupan yang layak atas hasil usaha mereka, karena
keterbatasan dan kecacatan.
Ali Syariati (1984)[4]
menyebutkan dua pertiga ayat-ayat al-Quran berisi tentang keharusan menegakkan
keadilan. Keadilan sosio-ekonomi dan pemerataan pendapatan dalam ekonomi
syariah merupakan bagian tak terpisahkan dari filsafat moral Islam. Untuk itu,
menurut Veithzal Rivai (2012)[5] konsep
keadilan dalam ekonomi syariah harus dibedakan dengan keadilan dalam konsep
kapitalis. Konsep keadilan sosio-ekonomi dalam kapitalis tidak didasarkan pada
komitmen spiritual dan persaudaraan universal, tetapi didasarkan pada komitmen sebagai
akibat dari tekanan kelompok. Maka, sistem kapitalisme, terutama yang terkait
dengan uang masyarakat di bank konvensional dan dominan hanya digunakan oleh
konglomerat serta disalurkan kepada pengusaha besar.
Fenomena ini jelas terjadi di Indonesia, yang mana rakyat kecil
menjadi mayoritas penduduknya. Implikasinya, ketidakadilan dan kesenjangan
sosial semakin tajam. Kaum kaya pun semakin kaya dan kaum miskin semakin
miskin.
Memutus Rantai Kemiskinan: Koperasi Mitra Dhuafa Belajar dari Grameen Bank
Kemiskinan adalah masalah kronis di Indonesia. Melebarnya jurang
pemisah antara kaum kaya dan kaum miskin menjadi bencana besar dalam ekonomi. Kemiskinan
muncul akibat ketidakberdayaan masyarakat dan menjadi realitas sosial sebagai
dampak dari proses pembangunan. Mudrajad Kuncoro (2013)[6]
menegaskan bahwa kesenjangan merupakan konsekuensi logis pembangunan dan
merupakan suatu tahap perubahan dalam pembangunan itu sendiri. Oleh karena itu,
tujuan pembangunan tidak hanya meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan pendapatan
per kapita, tetapi juga sebagai proses pemerataan dan distribusi nilai tambah
tertentu dalam kegiatan ekonomi.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa pada tahun 2011,
rata-rata tingkat kemiskinan setiap provinsi di Indonesia sebesar 13,21%. Di
Jawa dan Bali, sebanyak 16,89 juta penduduknya hidup di bawah garis kemiskinan.
Masih tingginya angka kemiskinan di Indonesia bukan tanpa upaya pemerintah
untuk menguranginya. Pemerintah telah melakukan beberapa langkah strategi
pengurangan kemiskinan seperti memberikan Bantuan Operasional Sekolah (BOS),
menggulirkan dana Program Nasional Pemberdayaan masyarakat (PNPM), dan
menyalurkan Kredit Usaha Rakyat (KUR). Namun, pelaksanaan langkah-langkah
tersebut selama ini cenderung parsial.
Pengentasan kemiskinan harus dilakukan dengan memutus rantai dan
mencabut akar penyebabnya. Jika upaya yang dilakukan cenderung parsial, seperti
memberikan bantuan langsung berupa sembako dan uang tunai, maka hal ini hanya
bersifat temporer dan mendorong kaum miskin berpola konsumtif. Langkah yang
tepat adalah menuntaskan kemiskinan secara struktural dengan mencabut akar
penyebabnya. Bentuk upaya yang dapat dilakukan adalah memberi bantuan modal
produktif dan meningkatkan keterampilan melalui pelatihan gratis. Upaya konkrit
ini telah dilakukan oleh Muhammad Yunus (1976)[7]
dengan merintis Grameen Bank di Jobra, Bangladesh.
Melalui Grameen Bank, Yunus
merancang skema keuangan mikro yang memungkinkan untuk memberikan pinjaman
kecil kepada masyarakat berpenghasilan rendah dan unbankable. Yunus
tidak hanya memberikan pinjaman kecil, tetapi juga mendidik kaum miskin tentang
manajemen uang, mengembangkan tabungan, dan mengelola uang. Sebesar 45% rakyat
Bangladesh hidup di bawah garis kemiskinan dan kini Yunus mampu membawa mereka
keluar dari kemiskinan melalui proses keuangan mikro. Muncul banyak pertanyaan,
dapatkan kemiskinan dihilangkan dari muka bumi? Yunus menjawab dengan jelas,
“Ya”. Yunus menuturkan, Grameen telah memberinya sebuah keyakinan tak
tergoyahkan dan kepercayaan yang kuat bahwa umat manusia tidak dilahirkan untuk
menderita akibat kelaparan dan kemiskinan. Kemiskinan adalah sesuatu yang
dibuat dan dipaksakan dari luar kepada seseorang. Untuk itu, karena berasal
dari luar, kemiskinan dapat dihilangkan.
Lembaga-lembaga keuangan dan bank-bank konvensional raksasa menolak
untuk memberikan layanan finansial kepada kaum miskin dan hal ini sama dengan
membiarkan hampir dua pertiga penduduk dunia tak tersentuh layanan finansial.
Satu alasan yang mendasari hal tersebut adalah bahwa kaum miskin tidak layak
kredit. Lalu, bagaimana kaum miskin yang unbankable dapat menerima pinjaman
dari Grameen Bank? Grameen Bank memang melakukan gebrakan dan pembuktian besar
dengan meminjamkan lebih dari 100 juta dolar per bulan dalam bentuk pinjaman tanpa
agunan (collateral – free loans). Tingkat pembayaran kembali pinjaman
tersebut oleh kaum miskin tetap sangat tinggi, sebesar 98%. Bahkan, Grameen
Bank telah memberi pinjaman kepada pengemis untuk berjualan kecil-kecilan.
Jadi, semakin miskin seseorang maka semakin layak untuk mendapatkan pinjaman.
Pembuktian Grameen Bank bahwa memberi pinjaman kepada kaum miskin tidak hanya
memungkinkan tetapi juga dapat menguntungkan, semakin memperjelas kekeliruan
asumsi lama ‘bank tidak dapat memberi pinjaman kepada kaum miskin lantaran
tidak memiliki agunan’.
Sementara Yunus giat melakukan pencakokan Grameen Bank ke seluruh
Bangladesh, beberapa ekonom di dunia sibuk melakukan replikasi Grameen Bank di
negara masing-masing. Di Indonesia, Koperasi Mitra Dhuafa (Komida)[8] adalah
salah satu wujud replikasi Grameen Bank. Koperasi ini dirintis sejak gempa bumi
hebat dan tsunami meluluhlantakkan Aceh. Hingga Juli 2013, Komida telah
memiliki anggota sebanyak 129.347 orang dan 58 kantor cabang yang tersebar dari
ujung Aceh hingga Nusa Tenggara Timur. Berpegang kepada slogan ‘we care the
poorest women’, Komida berkomitmen untuk memberi pinjaman kepada kaum
perempuan miskin dan menyelenggarakan proses pemberdayaan masyarakat. Berbekal
dari pengalaman tinggal bersama Muhammad Yunus dan anggota Grameen Bank (kaum
miskin) di Bangladesh, Komida berjuang untuk menjadikan para mustahik
zakat (penerima zakat) di Indonesia menjadi muzakki (pembayar zakat).
Sebagai lembaga grassroot microfinance, Komida berkeyakinan
bahwa semakin miskin maka semakin layak mendapat pinjaman. Kehadiran Komida di
tengah-tengah kaum miskin dengan memberi akses keuangan berkelanjutan telah
menghasilkan double impact yaitu peningkatan pendapatan dan
penyerapan tenaga kerja. Komida membidik kaum perempuan miskin sebagai anggota,
sebab perempuan merupakan agen perubahan yang sangat aktif dan efektif dalam
melakukan transformasi sosial. Sebagaimana pengalaman Grameen Bank, Yunus
menyatakan bahwa peminjam perempuan mendatangkan keuntungan bagi keluarga jauh
lebih banyak daripada peminjam laki-laki. Perempuan mempunyai dorongan lebih
kuat untuk mengatasi kemiskinan.
Komida dalam memberikan pinjaman tanpa mensyaratkan agunan. Sama
dengan prinsip ekonomi syariah, sifat kejujuran dan amanah dijunjung tinggi di
sini. Antara Komida dan anggotanya saling percaya dan menjaga amanah. Ekonomi
syariah mengajarkan nilai keadilan dan tolong-menolong (ta’awun), maka
Komida menerapkan sistem tanggung renteng yang bertujuan untuk mencegah
terjadinya pembayaran macet. Kendati menggunakan sistem tanggung renteng,
tetapi nilai keadilan tetap ditegakkan dengan menjamin bahwa pendapatan
individu tergantung kepada hasil kerja keras masing-masing anggota dan tidak ada
yang dirugikan. Tanggung renteng juga dimaksudkan untuk menciptakan
kemaslahatan bersama. Grameen Bank dan Koperasi Mitra Dhuafa telah membuktikan,
kemiskinan dapat diatasi dengan menerapkan keadilan dan mengutamakan
kemaslahatan bersama (mashlahah). Maka, semakin jelas bahwa penerapan ekonomi
syariah merupakan harapan cerah untuk membantu menghilangkan kemiskinan dan menghapus
kesenjangan sosial di Indonesia.
[1]Monzer Kahf, The
Islamic Economy: Analitical Study of the Functioning of the Islamic Economic
System (Canada: Plainfield, 1979).
[2]Muhammad Baqir
Ash-Shadr, Iqtishâdunâ (Beirût: Dâr al-Fikr, 1973), Cet. IV.
[3]Veithzal Rivai
dan Antoni Nizar Usman, Islamic Economics and Finance: Ekonomi dan Keuangan
Islam bukan Alternatif tetapi Solusi (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
2012).
[4]Majid Kahduri, The
Islamic Conception of Justice, 1984.
[5]Veithzal Rivai
dan Antoni Nizar Usman, Islamic Economics and Finance: Ekonomi dan Keuangan
Islam bukan Alternatif tetapi Solusi (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
2012).
[6]Mudrajad
Kuncoro, Mudah Memahami dan Menganalisis Indikator Ekonomi (Yogyakarta:
UPP STIM YKPN, 2013).
[7]Muhammad
Yunus and Karl Weber, Building Social Business: The New Kind of Capitalism
that Serves Humanity’s Most Pressing Needs (New York: Public Affairs,
2011). Lihat juga: Muhammad Yunus and Alan Jolis, Banker to The Poor: The
Story of The Grameen Bank (London: Aurum Press Ltd, 2010), dan Muhammad
Yunus, Creating a World Without Poverty: Social Business and the Future of
Capitalism (New York: Public Affairs, 2007).
[8]Slamet Riyadi
dan Sugiarti, Lembaga Keuangan Mikro Antara Teori dan Praktek: Sebuah
Pengalaman dari Komida dalam Mengembangkan Lembaga Keuangan Mikro untuk
Perempuan Miskin (Jakarta: Koperasi Mitra Dhuafa, 2012). Lihat juga: Pemberdayaan
Masyarakat Melalui Keuangan Mikro: Pengalaman Koperasi MItra Dhuafa Cabang
bantul (Jakarta: Yayasan Mitra Dhuafa, 2011).
informatif!
BalasHapusThank U..
BalasHapusSangat setuju. memang sudah seharusnya Ekonomi Syariah tdk hanya berkutat pd sharia compliance aj, tapi scara lngsung juga ''bermanfaat bagi umat manusia = mengatasi kemiskinan!''
BalasHapusBetul! Ekonomi syariah kan tujuan utama (maqashid syariah)-nya utk mencapai mashlahah. Jadi memang harus mendatangkan mashlahah bagi rakyat kecil dan miskin, agar ES tdk hanya mndtangkan keuntungan bagi kaum kota nan kaya aja :)
BalasHapusSemangat membumikan ekonomi syariah!
BalasHapusditunggu tulisan2 selanjutnya, terus berkarya ya nduk..
Njih.. :)
BalasHapusGo ekonomi syariah! Go!
Go! Go! :)
BalasHapusekonomi syariah untuk rakyat kecil!
diskusi yang menarik, lanjut... hehe
BalasHapusOk..
BalasHapusGo Ekonomi Syariah!