Senin, 04 November 2013

Labuhan Batu

(dimuat majalah INSTITUT UIN Jakarta)

Meletakkan koper, ransel dan membenahi duduk.

“ Yang, kita tidak bisa menghentikan waktu dan tak bisa menyibak macet. Kita hanya bisa berdo’a kepada sang Maha segala” suaranya berat penuh harap.

“ Yang, maafkan aku. Aku belum bisa menghadirkan kebahagiaan yang penuh buat Mayang” terdengar tulus dan sakit.

“Kita hanya bisa pulang dengan kereta ekonomi, tanpa AC dan WC” lanjutnya.

Lantas mataku menatapnya lekat. Ia meremas jemariku.

“ Manggar sudah berusaha, apapun hasilnya Mayang terima. Meskipun nanti bus ini tak dapat mengejar lelaju kereta, tapi tak ada alasan untuk bersedih hati bukan?” sisa nafas menyusup begitu saja di dalam rerusuk paru. Meletupkan kekuatan baru dari balik bilik jantung kiri.

“ Iya Yang, selama aku masih bisa menuai senyum firdausmu”

Kemudian aku meracik mantra-mantra untuk memeluk do’a kepada Malikul A’la.

Bulat mata menembus kaca jendela. Di luar sana, Monas kian gemerlap bermandikan panas bumi. Si kepala emas yang terlahir di tengah kota Megapolitan itu menyimpan sekotak cahaya purnama, sebagai pelita saat gerhana bumi nanti. Entah kapan. Sebab tanah pertiwi tak pernah menghapus sejarah koloni. Sejarah tak pernah merevisi gerigi surgawi, tapi prasejarah yang membuatnya mati suri. Seperti perjalananku siang ini.

Enam puluh menit kemudian bus memasuki terminal Senen. Aku dan Manggar segera bertolak menuju stasiun yang berada di sebelah utara terminal. Dengan langkah terseok-seok, menyeret koper dan menggendong ransel kami memburu waktu.

Manggar meraih tanganku cepat. Terkesan ingin membawaku terbang.

“ Akan lari waktu dikejar, Gar!”

Ia tetap mengambil langkah seribu tanpa menghiraukan kata-kataku.

“ Madiun, Surabaya mas . . !” seorang calo menawarkan dagangannya pada Manggar.

* * *

Meletakkan koper, ransel dan membenahi duduk.

“ Kenapa malah duduk-duduk di depan loket, Gar? Bukankah kereta . . .”

“ Kereta kita telah berangkat lima belas menit yang lalu Yang. Kita telat, maafkan aku” Bulat matanya membuatku berkaca-kaca. Aku tetap berusaha mengulas senyuman. Senyum ketabahan yang dipaksa oleh keadaan.

Sakit. Dadaku sesak.

Kemudian dua lembar uang biru ditukar dengan dua tiket yang baru. Masih kembali dua puluh ribu untuk perjalanan menuju kota rindu.

“ Kita tidak hanya pulang dengan kereta tanpa AC dan WC, tapi juga tanpa kursi!”

“ Maksud Manggar, kita berdiri?!” aku tak percaya. Ya Malikul A’la! mana mungkin kami berdiri dari ujung barat pulau Jawa hingga ujung timur.

Alangkah keras hidup ini. Penuh bebatuan liar. Setiap saat dan di segala tempat siap menghantamku. Dini hari, batu-batu itu menghantam dadaku. Membuatku sakit dalam kesabaran menunggu antrian kamar mandi satu-satunya di komplek kontrakanku. Bersama selincir pagi, batu-batu itu menikam perutku. Tepat pada lambung yang perih menanti sesuap nasi. Saat matahari pada titik tiga puluh lima derajat lintang utara, batu-batu itu menyergap tenggorokanku yang kering akan aliran air. Dan kini di selincir sore, batu-batu itu kembali menikam tubuhku. Dub! Dub! Tepat di ulu hati. Air mataku menjerit-jerit, aaagh . . .!

Manggar merintih kesakitan. Sepertinya batu-batu itu juga menggempur dadanya. Tapi bulat matanya tetap membara, menyalang rintang.

“ Lima menit lagi kereta berangkat. Mari masuk” ajak Manggar padaku.

Aku menggeleng pelan. Aku tak sanggup melihat orang bertumpuk-tumpuk. Hingga barang lebih terhormat dari pada orang. Bayi-bayi merah itu tidur beralaskan koran. Dan para lansia meringkuk di kolong-kolong kursi. Ini benar-benar seperti gerhana bumi. Tak ada titik terang sama sekali.

“ Yang, kau mengerti apa yang dikatakan oleh mataku?”

Lalu aku menjaring bulat matanya. Ada satu titik terang bertahta di sana. Bumi gegap gempita tersiram cahaya purnama dan gerhanapun sirna.

“ Mayang ingin membaja, sebelum masuk ke dalam perut si roda baja ini” ujarku.

“ Ini adalah sebuah proses metamorfosa menjadi baja, Yang. Maka biarkanlah kita menjadi labuhan batu. Biarkan batu-batu itu terus menghantam kita, agar kelak kita tak lagi terluka bila harus bergesekan kembali dengan batu-batu itu, Yang”

“ Seperti roda baja ini bukan?” celetukku. Mata kami tertuju pada roda-roda kereta.

“ Tak ada luka sedikitpun padanya. Meskipun sepanjang perjalanan ia di gariskan untuk abadi bergesekan dengan rel-rel yang membaja pula” lanjutku.

“ Luar biasa! tak ada setitikpun goresan batu atau sayatan pilu” kagumnya.

* * *

Meletakkan koper, ransel dan membenahi duduk.

Setelah tiga puluh menit batu-batu itu mengoyak kedua kakiku, seorang bapak-bapak mempersilakan kami duduk di kursi depannya. Terimakasih. Sepertinya Malikul A’la telah mengirim Mikail untuk membagikan jatah kursi kepada kami.

Kemudian Mikail menghadiahkan dua ekor kuda bersurai emas, bersayap kembar kepada kami. Kuda-kuda inilah yang akan membawa kami menerjang bebatuan liar ibu kota. Kuda putih itu lantas bersemayam dalam senyum kami. Indah sekali.

Mataremaja semakin kencang beradu dengan rel-rel meliuk liku. Melaju menuju batu-batu yang diam menunggu. Untuk membawa kami ke kota rindu.

Winong, 11 Agustus 2009 (mengenang 29-30 Juni di atas 76-Mataremaja)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar