Saya lahir dan besar di sebuah kampung kecil. Kota
di mana kampung saya berada adalah sebuah kota yang menjadi pembatas
antara Jawa Tengah dan Jawa Timur: Sragen. Mayoritas penduduk di
kampung saya menggantungkan hidupnya kepada hasil bumi. Bekerja di ladang dan
kebun. Meskipun ada satu atau dua warga yang memiliki nasib sedikit lebih baik,
menjadi pegawai negeri sipil. Tetapi banyak juga yang membiarkan anak-anaknya
di usia muda untuk mengadu nasib di kota-kota besar, seperti Jakarta, Batam,
dan Bali. Tidak jarang mereka kembali ke kampung halaman dengan tangan kosong
atau pulang hanya dengan jasad tanpa nyawa. Hal itu disebabkan karena rendahnya
pengetahuan tentang kesehatan dan obat-obatan terlarang. Mereka yang kembali ke
kampung dengan keadaan sudah tak bernyawa lantaran dicekoki narkoba oleh teman
di rantauan atau memang sengaja coba-coba memakainya dan kecanduan hingga nyawa
melayang.
Di kampung saya masih banyak yang buta huruf. Pengetahuan tentang
kesehatan pun masih rendah. Sebagian besar warga mempertahankan tradisi
leluhur, mengobati penyakit ringan dengan ramuan tradisional. Tetapi zaman semakin
berkembang, berbagai macam penyakit pun muncul. Mereka yang dulu melahirkan
cukup dibantu oleh dukun bayi pun kini telah memilih untuk melahirkan dengan
bantuan bidan atau dokter di pusat kota. Jarak dari kampung saya ke pusat kota tidak
dekat, sehingga risiko terjadi sesuatu di tengah jalan sangat besar. Ditambah
lagi, angkutan umum masih jarang dan kendaraan yang dimiliki oleh warga kampung
hanya sepeda ontel atau sepeda motor. Bagaimana jika seorang ibu yang
sudah mengalami ‘bukaan’ atau merasa perutnya mulas karena ingin segera
melahirkan bayinya harus membonceng sepeda motor sejauh dua puluh kilometer? Nyawa
yang dipertaruhkan.
Laksana hujan turun di tengah kemarau panjang, menyejukkan dan
memberi banyak harapan. Seperti itu kiranya rasa yang menyelimuti hati setiap
warga kampung ketika muncul seorang bidan. Meskipun bidan tersebut tidak berada
di kampung ini, tetapi di kampung sebelah. Entah kapan bidan itu menamatkan
sekolah kebidanan, toh warga kampung tidak begitu peduli dengan dunia
pendidikan. Bidan tersebut menjadikan sebagian rumahnya menjadi tempat praktik.
Membaginya menjadi beberapa ruangan mungil. Satu kamar untuk memeriksa pasien,
satu kamar khusus untuk melahirkan, satu kamar untuk ibu setelah melahirkan
yang harus rawat inap, dan satu ruangan lagi untuk ruang tunggu.