Rabu, 11 Desember 2013

Bidan Kredit, Harapan di Tengah Keterbatasan

           Saya lahir dan besar di sebuah kampung kecil. Kota di mana kampung saya berada adalah sebuah kota yang menjadi pembatas antara Jawa Tengah dan Jawa Timur: Sragen. Mayoritas penduduk di kampung saya menggantungkan hidupnya kepada hasil bumi. Bekerja di ladang dan kebun. Meskipun ada satu atau dua warga yang memiliki nasib sedikit lebih baik, menjadi pegawai negeri sipil. Tetapi banyak juga yang membiarkan anak-anaknya di usia muda untuk mengadu nasib di kota-kota besar, seperti Jakarta, Batam, dan Bali. Tidak jarang mereka kembali ke kampung halaman dengan tangan kosong atau pulang hanya dengan jasad tanpa nyawa. Hal itu disebabkan karena rendahnya pengetahuan tentang kesehatan dan obat-obatan terlarang. Mereka yang kembali ke kampung dengan keadaan sudah tak bernyawa lantaran dicekoki narkoba oleh teman di rantauan atau memang sengaja coba-coba memakainya dan kecanduan hingga nyawa melayang.
Di kampung saya masih banyak yang buta huruf. Pengetahuan tentang kesehatan pun masih rendah. Sebagian besar warga mempertahankan tradisi leluhur, mengobati penyakit ringan dengan ramuan tradisional. Tetapi zaman semakin berkembang, berbagai macam penyakit pun muncul. Mereka yang dulu melahirkan cukup dibantu oleh dukun bayi pun kini telah memilih untuk melahirkan dengan bantuan bidan atau dokter di pusat kota. Jarak dari kampung saya ke pusat kota tidak dekat, sehingga risiko terjadi sesuatu di tengah jalan sangat besar. Ditambah lagi, angkutan umum masih jarang dan kendaraan yang dimiliki oleh warga kampung hanya sepeda ontel atau sepeda motor. Bagaimana jika seorang ibu yang sudah mengalami ‘bukaan’ atau merasa perutnya mulas karena ingin segera melahirkan bayinya harus membonceng sepeda motor sejauh dua puluh kilometer? Nyawa yang dipertaruhkan.
Laksana hujan turun di tengah kemarau panjang, menyejukkan dan memberi banyak harapan. Seperti itu kiranya rasa yang menyelimuti hati setiap warga kampung ketika muncul seorang bidan. Meskipun bidan tersebut tidak berada di kampung ini, tetapi di kampung sebelah. Entah kapan bidan itu menamatkan sekolah kebidanan, toh warga kampung tidak begitu peduli dengan dunia pendidikan. Bidan tersebut menjadikan sebagian rumahnya menjadi tempat praktik. Membaginya menjadi beberapa ruangan mungil. Satu kamar untuk memeriksa pasien, satu kamar khusus untuk melahirkan, satu kamar untuk ibu setelah melahirkan yang harus rawat inap, dan satu ruangan lagi untuk ruang tunggu. 

Rabu, 04 Desember 2013

Memutus Rantai Kemiskinan di Indonesia

Mengapa memilih ekonomi syariah lebih menguntungkan? Sebab, ekonomi syariah menjunjung tinggi nilai keadilan dan kemaslahatan bersama. Keadilan merupakan pilar penting dalam ekonomi syariah. Sedangkan kemaslahatan (mashlahah) adalah tujuan utama syariah (maqâshid al-syariah). Ekonomi syariah tidak memperbolehkan harta dan kekayaan hanya dikuasai oleh segelintir orang saja. Untuk mendistribusikan kekayaan agar merata, maka diskriminasi harus dihapuskan dan pemberian kesempatan kerja yang sama kepada setiap orang. Sehingga, setiap orang menerima hasil dan pendapatan sesuai dengan kemampuan yang dimiliki. Hal ini ditegaskan oleh Monzer Kahf (1979)[1] bahwa perbedaan kekayaan yang dimiliki oleh setiap manusia karena potensi dan usaha yang dilakukan adalah suatu wujud keadilan.
    Sebagaimana yang dipaparkan oleh Muhammad Baqir Ash-Shadr (1968)[2] dalam salah satu karya masterpiece-nya Iqtishâdunâ, ekonomi syariah mengakui perbedaan kekayaan sebagai konsekuensi dari perbedaan potensi intelektual, spiritual, dan fisik yang dimiliki oleh setiap individu. Untuk itu, uang yang tersedia harus berputar di semua lapisan masyarakat agar setiap individu mampu hidup dalam satu standar hidup yang umum. Dengan demikian, keseimbangan dan keadilan sosial dapat diperjuangkan dalam batas-batas kemampuan dan kapasitas setiap individu. Untuk mewujudkan tujuan ini, ekonomi syariah memberi penekanan terhadap pengentasan anggota masyarakat yang hidup di bawah standar hidup atau di bawah garis kemiskinan.
Ekonomi syariah menginginkan keadilan sosial dan mengintegrasikannya dalam sistem dan proses pendistribusian pendapatan, sehingga semua individu mampu memiliki standar hidup yang merata dan harmonis. Veithzal Rivai (2012)[3] menyatakan bahwa bagian dari konsep redistribusi dalam ekonomi syariah adalah memberikan keadilan bagi mereka yang sudah bekerja dan mereka yang telah bekerja tersebut membayar zakat kepada kaum miskin. Pengertian kaum miskin adalah mereka yang tidak bisa mendapatkan kehidupan yang layak atas hasil usaha mereka, karena keterbatasan dan kecacatan.

Rabu, 27 November 2013

Kota Cinta, Kota Kenangan

Begitu banyak yang ingin kuceritakan. Kenangan yang tak mungkin kupendam dan kusimpan sendiri, tentang kota bernama Solo. Untuk itu aku harus kuat agar satu per satu kenangan dapat kukupas secara perlahan dan teratur. Tak dapat didustai bahwa senyawa yang bernama kenangan tersusun dari atom kebahagian dan kesedihan. Perkawinan antara serpihan luka dan tawa. Hal itu yang pernah diberikan oleh Solo kepadaku. Sesungguhnya Solo adalah kota cinta, sekaligus kota kenangan.

Solo bukan kota kelahiranku, tetapi dia telah menimangku dengan manja dan kadangkala menghujaniku dengan masalah agar aku tumbuh menjadi seorang gadis dewasa dan tidak cengeng. Takdir membawaku untuk duduk di sebuah bangku sekolah menengah atas di kota ini. Saat itu semua teman-teman dan bahkan aku sendiri masih dalam kondisi labil dan mudah sekali tersengat tawon bernama chemistry. Beberapa teman mengakui bahwa alasan menyukai seseorang karena ia merasa ada chemistry. Tak ada alasan lain yang mampu mereka utarakan, meskipun aku yakin pasti ada. Barangkali mereka tidak bermaksud untuk berdusta, tetapi memang ada rasa lain yang harus dijaga.

Sama halnya dengan mereka yang mencintai kekasihnya, aku mencintai Solo apa adanya. Semacam ada chemistry. Pertama kali menginjakkan kaki di Solo, langsung jatuh cinta. Karena cinta, aku lebih mudah mengingat setiap jalan, sudut, dan tikungan yang ada di Solo. Karena cinta, aku menerima Solo dengan segala atmosfernya. Karena cinta, aku lebih menyukai makanan khas Solo daripada makanan khas kota lain. Karena cinta, aku nyaman berlama-lama tinggal di dalamnya. Karena cinta, aku berjuang mengharumkan nama Solo di berbagai panggung kompetisi.